SEKILAS SEJARAH LETKOL. MOCH SROEDJI
Moch. Sroedji adalah putra dari pasangan
Bapak H. Hasan dan Ibu Hj. Amni. Sroedji dilahirkan di
Bangkalan-Madura, pada 1 Februari 1915. Istri Sroedji bernama Hj. Mas
Roro Rukmini, yang lahir dari pasangan Mas Tajib Nitisasmito dan Siti
Mariyam. Dari perkawinan tersebut terlahir 4 orang anak, diantaranya
Drs. H. Sucahjo, Drs. H Supomo, Sudi Astuti, Pudji Redjeki Irawati
Pendidikan
Moch. Sroedji bersekolah di Hollands
Indische School atau lebih dikenal dengan HIS. Kemudian menimba ilmu di
Ambacts Leergang. Ambacts Leergang adalah semacam sekolah pertukangan.
Pemerintah Belanda sengaja mendirikan sekolah-sekolah kejuruan untuk
memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Diharapkan, alumni sekolah jenis ini
dapat langsung memperoleh pekerjaan sesuai dengan bidangnya.
Bidang pertukangan dibagi menjadi dua.
Yang pertama, Ambacthsshool. Sekolah ini menerima lulusan dari HIS, HCS,
dan sekolah Peralihan. Berikutnya, Ambachts Leergang, yang menerima
lulusan Sekolah Bumiputra Kelas Dua dan vervolgschool. Keduanya memiliki
masa pendidikan 3 tahun. Ambachts leergang mencetak tukang listrik,
mebel, dan lain-lain, sedangkan Ambacthsshool mencetak mandornya. Moch.
Sroedji menempuh pendidikan di Ambachts leergang.
Sesudah menjalani masa pendidikan
formal, pada tahun 1938 sampai tahun 1943, Moch. Sroedji bekerja sebagai
Pegawai Jawatan Kesehatan sebagai Mantri Malaria di RS Kreongan Jember
(kini menjadi RS Paru).
Karir Moch. Sroedji di Bidang Militer
Moch. Sroedji memulai karir militernya
di Jember pada akhir tahun 1943. Semula pangkatnya adalah komandan kompi
alias Chuudanchoo (Chuu: menengah, Danchoo: pimpinan/perwira) di Peta
Besuki. Jabatan sebagai komandan kompi ia dapat setelah mengikuti
Pendidikan Perwira Tentara PETA angkatan I di Bogor (sengkatan dengan
Ahmad yani dan Soeharto-sumber sang patriot-red). Begitu lulus PETA, ia
ditugaskan sebagai komandan kompi untuk Karesidenan Besuki – Batalyon 1
Kencong – Jember di bawah Daidancho Soewito Soediro.
Moch. Sroedji juga turut berperan aktif
dalam memelopori terbentuknya BKR dan TKR untuk wilayah Karesidenan
Besuki. Pada bulan September 1945 sampai dengan Desember 1946, ia
berturut-turut dilantik sebagai Komandan Batalyon 1 Resimen IV Divisi
VII TKR yang berdomisili di wilayah Kencong, Jember.
Renville
Dengan –dianggap– berakhirnya
pemberontakan PKI, pimpinan Angkatan Perang negeri ini mulai memikirkan
kembali kemungkinan serangan militer Belanda. Gejala akan datangnya
serangan Belanda telah nampak. Belanda mangkir dari isi kesepakatan
perjanjian Renville.
Perundingan Renville dimulai pada
tanggal 8 Desember 1947, dan kesepakatannya ditandatangani pada 17
Januari 1948. Intinya, perjanjian tersebut memuat tiga poin.
1. Belanda hanya mengakui Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia
2. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda
3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah selain yang disebutkan di poin satu.
Sebagai hasil Persetujuan Renville,
pihak Republik harus mengosongkan wilayah-wilayah yang dikuasai TNI.
Perjanjian Renville banyak ditentang rakyat. Indonesia kacau, dan
sejarah mencatatnya.
Jika saja Panglima Besar TNI Jenderal
Soedirman (yang kala itu sedang sakit) tidak memiliki kewibawaan yang
besar, mungkin banyak para pejuang yang menentangnya. Hijrah, itulah
yang akhirnya ditempuh oleh para pejuang. Tidak terkecuali dengan
pejuang Jember.
Terhitung sejak Januari 1948, hijrah
massal mulai dilaksanakan. Di beberapa tempat (batas wilayah Indonesia
sesuai hasil perjanjian Renville) sudah ada panitia yang mengatur dan
mendistribusikan jalannya hijrah.
Antara Mei 1948 hingga Oktober 1948,
Moch. Sroedji menjadi Komandan Resimen 40 Damarwoelan pada Divisi VIII.
Pada tanggal 25 Oktober 1948, sesuai hasil keputusan Menteri Pertahanan
RI. No. A/532/42, Resimen 40 Damarwoelan dilebur dan dirubah namanya
menjadi Brigade III Damarwoelan Divisi I T.N.I. Jawa Timur.
Survive di Blitar
Tempat pengungsian pasukan Damarwoelan
terpencar di berbagai daerah. Namun kemudian dapat disatukan di Blitar.
Mereka mengungsi lebih dari 3 bulan. Kesemuanya diurus panitia. Waktu
terus bergulir, beban konsumsi dan akomodasi seluruh anggota resimen
semakin membengkak. Pada akhirnya, kesemua itu ditanggung oleh Komandan
Sroedji.
Wingate Action
Brigade III Damarwoelan Divisi I T.N.I.
Jawa Timur mengadakan Wingate Action (dari daerah Blitar ke daerah
Besuki) menuju jalur Lumajang – Klakah – Jember – Banyuwangi. Wingate
Action tersebut berlangsung selama 51 hari. Menempuh perjalanan panjang,
dengan jarak sekitar 500 km.
Sepanjang perjalanan, Brigade Brigade
III Damarwoelan Divisi I T.N.I. Jawa Timur mengalami banyak pertempuran.
Puncak pertempuran terjadi pada 8 Februari 1949 di Desa Karangkedawung,
Mumbulsari, Jember. Letkol Moch. Sroedji gugur di medan perang, setelah
berhari-hari bertahan dari gempuran dan kejaran pihak Belanda. Jenasah
Letkol Moch. Sroedji dikebumikan di Pemakaman Umum Kreongan. Sementara
di bekas wilayah pertempuran dibangun sebuah monumen untuk memperingati
apa yang telah terjadi pada 8 Februari 1949.
Letkol Moch. Sroedji di Mata Kita
Ketika melintas di alun-alun kota
Jember, tepatnya di depan kantor Pemkab Jember, terdapat sebuah patung
yang menjulang tinggi. Patung tersebut mewakili sosok pejuang lokal
Jember yang namanya dijadikan nama jalan di wilayah kota. Letkol Moch.
Sroedji. Patung tersebut merupakan salah satu simbol perjuangan Jember
saat mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan Kolonial Belanda. Ia
merupakan patriot lokal yang belum banyak didengungkan dalam bangku
sekolah. Banyak anak-anak di Jember tidak tahu, siapa sosok yang
dijadikan patung di pelataran Pemkab Jember tersebut. Masih sedikit
sekali pelajaran sejarah yang membahas tentang perjuangan beliau secara
khusus.
Dalam sudut pandang penulisan sejarah
baru di Indonesia, definisi pahlawan tidak harus orang-orang besar yang
harus memberi pengaruh dalam skala nasional. Dalam tingkat kota sampai
desa, seseorang yang berjuang demi kepentingan bersama bisa disebut
pahlawan. Keberadaan patung Letkol Moch. Sroedji bisa dijadikan
pemantik rasa ingin tahu untuk mengenalnya lebih jauh. Mengenal
kisah-kisah perjuangannya dan kemudian membawa semangatnya dalam
kehidupan kita sehari-hari.
Ada banyak sudut pandang yang bisa kita
kupas mengenai sosok pahlawan lokal kita yang satu ini. Perjuangannya,
kepemimpinannya, rasa nasionalismenya yang kuat dan juga kesetiaannya
dalam membela tanah air. Bagaimanakah sosok letkol Moch. Sroedji di mata
kita? Di mata masyarakat Jember pada khususnya? Mari berbagi bersama
kami. (tim/sal)
(Sumber :http://www.jemberpost.com/pendidikan/tokoh-prestasi/sekilas-sejarah-letkol-moch-sroedji/ )
Tidak ada komentar