Tanokerreen…
Dulu, siapa yang mau
berjauh-jauh datang ke Ledokombo? Jangankan untuk berkunjung lalu
berlama-lama di sana. Mendengar namanya saja sudah banyak yang “mundur”
duluan. Selain cukup jauh dari pusat kota Jember, dulu wilayah ini masuk
zona merah. Daerah miskin.
LAIN dulu lain sekarang. Ledokombo kini sudah menjelma menjadi
gadis seksi. Jika dulu diemohi, kini jadi salah satu destinasi andalan.
Tak hanya warga lokal, wilayah ini sudah mampu membetot perhatian
dunia. Bahkan, banyak kunjungan dari manca. Sekadar ingin pelesir sampai
melakukan penelitian.
Semua tak lepas dari peran komunitas Tanoker. Sebuah komunitas
yang terinspirasi dari kondisi riil masyarakat Ledokombo. Ledokombo
dikenal sebagai salah satu kecamatan di Jember yang warganya banyak
memilih untuk bekerja ke luar negeri. Hal ini tidak terlepas kondisi
ekonomi masyarakat di sana. Untuk lepas dari jerat kemiskinan, warga
lebih memilih menjadi buruh migran. Sayangnya, banyak warga Ledokombo
yang menjadi buruh migran tanpa jalur resmi, sehingga berpotensi menjadi
korban perdagangan manusia.
“Mereka
berangkat ke luar negeri kebanyakan lewat calo yang mayoritas dari
mereka tidak mendaftarkan dirinya melalui Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi,” tutur Sisillia Velayati, koordinator divisi sosial
politik dari Komunitas Tanoker, yang banyak melakukan advokasi untuk
perlindungan buruh migran beserta keluarganya yang ditinggalkannya di
Ledokombo.
Selama beberapa tahun terakhir,
komunitas Tanoker cukup berperan dalam mendorong kebangkitan citra
Kecamatan Ledokombo. Tidak sekadar menciptakan taman bermain beserta
program-program untuk mengajak anak-anak setempat ikut riang gembira.
Komunitas ini juga aktif melakukan pendataan sebagai salah satu upaya
advokasi bagi buruh migran asal Ledokombo.
“Kami membangun konsep pengasuhan
bersama. Karena sebagian besar mereka yang berangkat kerja ke luar
negeri, meninggalkan anak-anak yang harus terus diperhatikan,” tutur
Suporahardjo, salah satu inisiator Komunitas Tanoker. Menurut pria asli
Ledokombo ini, kebanyakan buruh migran merupakan ibu rumah tangga yang
menyerahkan pengasuhan anak-anaknya kepada suami atau kakek-neneknya.
Jika dibiarkan begitu saja, kondisi itu bisa menjadi karena mereka yang
diberi amanah untuk mengasuh anak belum tentu bisa membesarkannya secara
ideal.
Tak cuma itu. Komunitas Tanoker juga
mendorong keluarga maupun para mantan buruh migran untuk bisa mandiri
dengan berwirausaha. Salah satunya adalah kelompok usaha bersama yang
dinamakan Tanocraft. Kelompok usaha bersama ini menghasilkan kerajinan
tangan yang dipasarkan bahkan hingga ke luar negeri. Konsep pemasaran
ini, menurut Supo juga didukung dengan program-program wisata yang
digagas oleh Komunitas Tanoker, bekerja sama dengan Kelompok Sadar
Wisata (Pokdarwis) berbasis desa yang ada di Kecamatan Ledokombo.
“Agar pengiriman uang (remitansi)
dari buruh migran kepada keluarganya di desa bisa berputar secara
produktif. Selama ini hanya untuk membeli rumah yang belum tentu menjadi
aset produktif,” tutur doktor sosiologi dari Universitas Indonesia
ini.
Upaya Tanoker mendorong wisata
berbasis desa selama beberapa tahun terakhir, mampu mengangkat citra
Ledokombo menjadi salah satu destinasi wisata dengan keunikannya
tersendiri. Ikhtiar ini memiliki multiplier effect pada usaha lain
seperti kuliner dan jamu. Beberapa even seperti Festival Egrang mampu
menarik perhatian turis dan beberapa pejabat penting di tingkat
nasional, untuk berkunjung ke Ledokombo.
“Kami juga ada Pasar Lumpur setiap
akhir bulan. Itu adalah outbond gratis untuk keluarga, yang diselingi
stand dari usaha warga desa untuk memasarkan kuliner mereka. Evaluasi
kami, Pasar Lumpur bulan lalu lumayan omsetnya hingga jutaan rupiah
dalam sehari,” pungkas pria berambut panjang ini.
Peran komunitas Tanoker memang pantas
diapresiasi. Tak hanya mampu lebih memberi warna kepada Ledokombo, tapi
juga sangat menginspirasi. Tanokerreen… (c1/ras)
(jr/ad/har/JPR)
Sumber:http://www.jawapos.com/radarjember/read/2017/08/02/5202/tanokerreen
Tidak ada komentar