ANGKUTAN DESA SEMAKIN TAK BERDAYA
Menghitung angkutan desa (angdes)
di Jember semakin mudah bahkan bisa dengan jari. Bertambah tahun,
jumlahnya semakin berkurang. Penyebabnya, karena mulai ditinggal
penumpangnya.
Salah satu sopir angdes yang masih bertahan di Kalisat, Sumarto tidak
bisa memastikan, akan bertahan dengan kondisi seperti itu. Sebab, mau
mencari setoran mobil Rp 25 ribu per hari, sudah kesulitan, bahkan lebih
sering angkat tangan tidak setor.
Dia mengaku tetap bertahan, karena tak ada pekerjaan lain, untuk pria
berumur 60 tahun sepertinya. Dia pun masih bersyukur, sopir senior
Arjasa – Kalisat, sudah memiliki banyak pelanggan. “Bukan anak sekolah,
tapi pekerja gudang (tembakau),” akunya.
Ongkos untuk pekerja gudang, memang tidak terlalu mahal. Sekali
menumpang kendaraannya, cukup bayar Rp 2 ribu. Namun mereka bisa pulang –
pergi (PP). Sehingga, satu orang pelanggan bisa dipungut Rp 4 ribu.
“Kalau sampai 10 orang, kan lumayan PP bisa dapat Rp 40 ribu,” katanya.
Trayek Arjasa – Kalisat, diakuinya memang tak sama dengan Arjasa –
Bondowoso. Kata Sumarto, sopir angdes trayek Bondowoso, setengah hari
sudah bisa pulang dan mampu bayar setoran mobil. Sedangkan di trayeknya,
ambil 2 PP diakuinya masih kesulitan cari penumpang. “Kalau trayek
Kalisat – Sukowono, malah mati tidak ada angkutan sama sekali,”
ungkapnya.
Matinya sejumlah rute angdes di wilayah utara, menurut Sumarto karena
penumpang yang memang sepi. Mereka, lebih memilih kendaraan pribadi.
Sepinya penumpang, membuat sulit bayar setoran dan akhirnya bos pemilik
armada, memilih menutup usahanya.
Pun demikian yang disampaikan sopir lainnya, Hari. Pria yang tak lain
warga Arjasa, mengakui jika bos pemilik mobil sampai tak sanggup
membeli onderdil. Bukan hanya itu, untuk menekan biaya operasional,
beberapa bos sampai enggan menguji KIR kendaraannya.
Bahkan yang lebih parah diakui Hari, ada beberapa mobil angdes pelat
kuning, sebenarnya nomor kendaraan mobilnya hitam. “Karena angkutannya
banyak yang tutup, ada sopir yang beli mobil pribadi bekas, kemudian
pelatnya diganti kuning,” bebernya.
Namun tetap ada konsekuensi. Semisal ada razia kepolisian dan Dinas
Perhubungan (Dishub) Jember, para sopir terpaksa libur narik penumpang.
“Pasti tahu kalau ada operasian (razia, Red). Karena anak-anak di jalan
saling info pakai HP,” terangnya.
Sementara itu, Kadishub Jember Isman Sutomo, mengakui banyak angdes
yang gulung tikar. Bahkan data yang dimiliki dinasnya, setiap tahunnya
jumlah angdes di Jember berkurang.
Meski demikian, pihaknya tidak mampu mengintervensi pemilik angkutan.
Diakuinya Isman, Dishub Jember hanya bisa memotivasi dengan beberapa
fasilitas yang diprogramkan dishub. “Salah satunya program angkutan
digital, JDTI,” tuturnya.
Soal pengakuan banyak angkutan, yang tidak uji KIR dan berganti pelat
nomor hitam ke kuning, Dishub Jember tetap tegas menindaknya. “Tapi
mereka selalu sembunyi saat ada razia. Sampai tertangkap, ya jelas tidak
ada kompromi,” janjinya. Sebab menurut Isman, Uji KIR bagian dari
garansi keselamatan penumpang angkutan.
(jr/rul/hdi/das/JPR)
Sumber: https://www.jawapos.com/radarjember/read/2018/02/26/52452/angkutan-desa-yang-semakin-tak-berdaya
Tidak ada komentar